Selasa, 09 November 2010

Tempurung Buat Bapak & Ibu

Tadinya mereka tidak selalu risau dengan kehadiran ibu tua itu. Sebagai seorang anak yang merasa dilahirkan dari rahim ibunya, Hasan tidak tega membiarkan ibunya hidup sendirian sepeninggal ayahnya. Istrinya, Nazulah, juga tak berkeberatan, apalagi perempuan itu merasakan sangat besar ”kegunaan” mertuanya dirumah. Ibu itu masih bisa membantu pekerjaan-pekerjaan rumah tangganya.

Namun semenjak Nazulah hamil, sakit batuk si ibu mertua mulai semakin menjadi, bahkan sempat memuntahkan darah. Nazulah semakin bingung. Kalau ibunya itu tidak segera diungsikan, ia khawatir kalau penyakitnya akan menular pada anaknya kelak.

Maka, menjelang kelahiran anaknya Nazulah berkata pada suaminya, ”Bang, sakit ibu ternyata penyanyakit menular. Jadi kita harus mencarikan jalan supaya anak kita nanti jangan bergaul dengannya.”

Hasan kaget dengan pernyataan istrinya, ”Maksudmu ?”.

”Kita Harus berpisah dari ibu”. Jawab Nazulah.

Hasan termenung mendengar permintaan istrinya. Sebenarnya ia merasa berat terhadap ibunya, namun karena Nazulah mendesak terus dan ia menganggap alasan istrinya cukup kuat, maka hasan memutuskan untuk membuat gubug kecil di halaman belakang rumah mereka. Dengan perasaan masgul ia meminta ibunya tinggal disana.

Ibu itu adalah nenek dan mertua yang baik, ia menghargai maksud anak-anaknya. Ia menganggap sisa umurnya adalah sisa-sisa kesenangan hidup yang telah dinikmatinya. Maka ia tinggal di gubug itu tanpa kesedihan sedikitpun.

Pada awalnya, segala keperluan si ibu selalu dicukupi oleh pasangan itu. Namun seiring dengan waktu, perhatian Hasan dan Nazulah tercurah pada Ray, buah hatinya yang mulai tumbuh menjadi anak yang pintar dan lucu. Sebuah gelas yang selalu digunakan si ibu telah lama pecah, untuk menggantikannya ibu itu terpaksa mencari tempurung kelapa.

Bahkan kemudian karena alasan kesehatan Nazulah melarang anaknya mendekati gubug tempat ibu mertuanya itu tinggal. Sehingga pada usianya yang ketiga, Ray tak pernah tahu bahwa yang tinggal di gubug itu adalah neneknya sendiri. Sebab setiap ia bermain didekat gubug itu selalu saja dimarahi oleh bapak ibunya.

Namun pada suatu hari, saat kedua orang tuanya tak di rumah Ray berhasil menyelonong ke sana. Dengan mengendap-endap ia mengintip melalui lubang pintu. Dilihatnya nenek itu sedang di atas dipan, dengan rambut yang telah beruban semuanya dan badannya yang bungkuk. Menyaksikan hal itu bukan rasa takut tetapi rasa ingin tahu Ray yang timbul. Dengan tingkanya yang lucu ia memanggil-manggil.

”Nek, nenek tua, bukakan pintu Nek..!”

Demi mendengar suara yang selama ini ia rindukan, nenek itu dengan tergopoh-gopoh berjalan menuju pintu untuk menyabut sikecil.

”Siapa kamu Nak ?” tanya nenek itu memastikan.

”Ray ..”

” Oh.. benar rupanya kau cucuku. Dimana bapak ibumu?”

”Pergi, nenek mau main denganku ?” pintanya polos.

Betapa bahagia nenek itu mendapatkan kesempatan yang dia impikan semala ini. Hingga tengah hari Ray bermain di gubug itu. Rupanya anak kecil itu haus, ia merengek meminta minum pada nenek, ”Nek, minum..”.

Segera si nenek mengambil tempurung kelapa satu-satunya, ”Nenek tidak punya gelas, minum dengan tempurung ini ya..”.

Ray kecil heran, ”Memangnya nenek ini siapa sih, kok tidak punya gelas?”

”Aku adalah nenekmu, ibu dari bapakmu.”

”Kenapa tidak punya gelas?”

”Orang tua tidak boleh pakai gelas..” jawab nenek itu dengan lembut.

Demikianlah, ketika sudah puas bermain, Ray meminta ijin untuk pulang. Dan untunglah kejadian ini tidak diketahui kedua orang tuanya.

Hingga pada suatu saat, Ray dan kedua orang tuanya pergi berlibur, ke sebuah tempat di pinggir kota. Hasan ingin anaknya mengenal alam. Ditengah perjalanan Ray melihat sebuah tempurung di selokan pematang sawah. Tiba-tiba matanya berbinar-binar dan merengek meminta ayahnya untuk mengambil tempurung itu.

”Jangan tempurung itu kan kotor.” sergah Hasan. Tetapi Ray tidak berhenti meminta. Demikian kuat keinginannya sehingga Hasan pun memungut tempurung itu dan membersihkannya.

”Memangnya untuk apa tempurung itu anakku?” tanya Nazulah.
”Tempurung ini akan kusimpan, untuk ibu kalau sudah tua.” jawab Ray dengan lugu dan mata lucu berbinar.
” Lho, kenapa begitu ?” tanya Nazulah.
”Besok kalau Ray sudah gede, bapak dan ibu akan ku buatkan gubuk seperti di belakang rumah dan tempurung ini untuk makan dan minum ibu, seperti nenek Ray di gubug itu”. Jawab Ray dengan semangat.

Begitu terpukul Hasan dan Nazulah mendengar penuturan itu, hal ini tak lain karena semua ini bukan datang dari orang lain melainkan perbuatan mereka sendiri.

****

Sahabat, begitu banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kisah yang dituturkan oleh Almarhum KH. Abdurrahman Arroisi ini. Betapa semua dari kita selalu menginginkan sesuatu yang terbaik terjadi untuk diri kita. Karena begitu penuh semangat, kita ”bermain” dengan logika-logika yang dirasa menguntungkan diri kita di masa kini. Tak jarang kita melupakan investasi yang akan kita tuai di masa yang akan datang.

Kepada siapapun (anak, teman atau karyawan, misalnya) banyak orang yang menempatkan logika berfikirnya sendiri, tanpa mengindahkan persepsi orang lain terhadapnya. Tidak sadar akan akibat yang terjadi ketika fikiran-fikiran kita diterjemahkan oleh orang lain denga cara yang mungkin tidak pernah kita duga.

Seorang pejabat sebuah perusahaan/kantor misalnya, ketika mejabat selalu menggunakan cara mengkritik secara negativ kepemimpinan sebelumnya untuk mendongkrak popularitasnya. Hal ini bila selalu di”mainkan” tanpa reserve akan ditangkap sebagai sesuatu yang dianggap wajar oleh karyawan. Bukan tidak mungkin kelak ketika dia tidak lagi mejabat hal yang tidak menyenangkan itu terjadi pada dirinya.

Cerita ini sebuah inspirasi luar biasa bagi kita, sekaligus membuktikan bahwa setiap orang akan menuai dari apa yang ia perbuat, bahkan terkadang terjadi persis dengan apa yang telah ia lakukan menimpa dirinya.

Selamat bermuhasabah sahabat, semoga Tuhan menuntun kita di jalan yang penuh dengan kebaikan, sehingga kebaikan itu yang selalu terjadi pada kita.

Tidak ada komentar: