Jumat, 05 November 2010

[Berandai-andai] Seandainya yg di DPR punya sifat seperti sosok ini

Sleman - Mencari keteladanan sang pemimpin, mungkin tidak akan kita jumpai di kota besar yang pemimpinnya dilengkapi dengan segala rupa fasilitas yang melenakan. Atau mungkin di gedung terhormat yang dihuni para wakil rakyat yang tidak mau naik tahta. Karena naik tahta sama saja menjadi rakyat.

Keteladanan pemimpin malah sering tersiar dari desa di pelosok, di mana konsep manunggaling kawulo gusti (konsep bersatunya pemimpin dan rakyat) berasal dan diterapkan.

Adalah Heri Suprapto, seorang kepala desa di desa rawan bencana Merapi. Demi mengamankan warganya yang mengungsi di barak pengungsian desa Kepuharjo, Heri rela ikut tidur di barak bersama ribuan warganya, padahal rumahnya termasuk daerah yang aman.

"Sejak status Merapi 'awas' dan warga yang di dusun teratas harus ngungsi ke barak, saya terus tidur di situ. nek nggak githu sopo sing mantau warga," ujar Heri dalam perbincangan demngan detikcom di dinginnya udara malam di balaidesa Umbulmartani, kecamatan Ngemplak, Sleman, Yogyakarta tempat ribuan warganya mengungsi, Kamis (4/11/2010).

Sebagai kepala desa, beban yang diamanatkan bapak 4 putra ini terasa berat. Tidak sekedar urusan keselamatan warga saat , urusan administrasi warga pun ia utamakan. Demi mempermudah urusan administrasi, stempel lurah yang diamanatkan kepadanya selalu ia bawa kemana.

"Ngarit, nyari pasir kemana-mana stempel saya bawa. Jadi kalau ada warga yangnyari saya buat minta stempel tidak usah bolak-balik, langsung saya thok (cap) di tempat," ujar suami Tri Sayuti ini.

Desa Kepuharjo yang ia pimpin selama tiga tahun merupakan salah satu desa terdekat dengan puncak Merapi. Desa yang memiliki 8 dusun ini masuk masuk dalam kawasan rawan bencana (KRB) 3, atau daerah
ring satu paling berbahaya dari Merapi.

Dusun yang paling dekat dengan Merapi adalah dusun Kaliadem (4 KM dari puncak Merapi) yang juga tinggal Mbah Ponimin sang pawang hujan yang sempat ngetop di media karena cerita berbau kleniknya saat menyelamatkan diri dari awan pamnas atau wedus gembel. Sedangkan dusun terjauh dengan merapi adalah dusun Manggong (sekitar 13 KM dari puncak Merapi), tempat Heri dan keluarganya tinggal selama ini.

Kini warga Kepuharjo telah mengungsi semua ke tempat yang lebih aman. Namun hal tersebut tidak lantas membuat Heri senang sesaat. Warganya yang panik karena datangnya awan panas, Rabu (3/11) malam ternyata mengungsi ke berbagai desa dan tercerai berai. Heri dan perangkatnya harus sibuk mendatangi desa-desa lain di lereng Merapi yang diduga ada warganya yang ikut mengungsi.

"Mereka panik dan asal pergi kemana-mana yang dikira aman. Akibatnya ada yang disini ada yang di Galagaharjo, ada yang Wukirsari, Purwobinangun dan Hargobinagun. Tapi kondisi seperti itu memang wajar, kalau warga panik karena munculnya wedus gembel tiba-tiba," terangnya.

Heri dan beberapa perangkat desanya yang lain terpaksa harus mendata satu-persatu warganya di tempat pengungsian lain sekadar memastikan yang bersangkuitan layak hidup dalam pengungsian bersama warga desa lain.

"Kan kasihan to mas kalau mereka terlantar di pengungsian yang bukan diatur oleh pamongnya sendiri," ujar pria 48 tahun ini.

Warga desa Kepuharjo yang berjumlah 945 KK (Kepala Keluarga) atau 2996 jiwa saat ini sudah mengunsi semua meskipun tercerai berai di beberapa pengungsian. Sebagai Kades yang memimpin rakyat sekian, dirinya mengaku memiliki kelemahan karena tidak ada sarana dan prasarana yang menunjang. Karena meskipun termasuk desa teratas, ternyata desa Kepuharjo tidak memiliki HT (Handy Talky), padahal alat kominikasi tersebut sangat penting untuk memantau aktifitas Merapi yang tiap saat mengancam desanya.

"Idealnya desa punya 19 HT, itu untuk saya, perangkat seperti kaur dan 8 kepala dusun. Tapi sampai sekarang kita ndak punya, kalau toh ada malah warga yang punya. Dan kita ndak bisa apa-apa, itu kan punya warga pribadi," keluhnya.

Heri pun berharap, ada bantuan HT untuk bisa mengamankan desa dari amukan Merapi yang bisa sewayah-wayah menerjang pemukiman warga Kepuharjo, yang juga tempat kelahirannya. "Itu penting mas buat desa, biar aman semua," terangnya.

Namun di malam ke sebelas ini, sejak Merapi dinyatakan awas ini, Heri tidak bisa menemani kawulo (warga) nya tidur di pengungsian Desa Umbulmartani. Bukan lantaran bosan tinggal di pengungsian, atau mementingkan keluarganya yang juga ngungsi di rumah saudaranya di desa Glagaharjo, tetapi karena sesuatu hal yang
menurutnya sangat penting.

"Pagi ini saya mencret-mencret mas,nek saya tidur di sini terus sering kebelakang malah ganggu warga. Mending saya nginep di rumah temen saya yang dekat dari sini. Besok kalau sudah sembuh saya paling tidur di barak lagi," ujarnya tanpa risih.

Saat detikcom berusaha meminta gambar Kades yang sederhana ini, iapun menolak hal tersebut. "Rasah mas, ndak malah ngetop, ntar malah lali ngurusi warga,"ujar sambil menuju ke barak.

Tidak ada komentar: