Usia : 60 tahun
Profesi : Guru, PNS
Domisili : Denpasar, Bali
Kegiatannya : Memelihara Anak Terlantar di Bali
Sudah 1.400 anak dari keluarga kurang mampu yang pernah diasuhnya dan ia buat menjadi manusia-manusia yang mandiri. Ia tetap tegar di jalur wirausaha sosial.
Gelak tawa memenuhi aula Panti Asuhan Hindu Dharma Jati II di Jalan Trengguli 80, Denpasar, Kamis (2/9). Di ruangan itu puluhan remaja asal Jepang asyik bercengkerama dengan anak-anak panti. Bernyanyi bersama, belajar membuat mainan dari kertas sampai menjajal kemampuan berbahasa. Acara diakhiri dengan makan bersama yang menunya spesial dimasak dan disajikan oleh para remaja dari Negeri Matahari Terbit itu yang sedang mengikuti bakti sosial di sela acara liburannya.
Panti Asuhan ini memang sudah dikenal luas oleh warga Bali maupun dermawan dari berbagai negara. Jaringannya terbangun dari mulut ke mulut seiring dengan pertumbuhan usia yang telah mencapai 25 tahun. Sudah 1.400 anak dari keluarga kurang mampu yang pernah diasuh dan menjadi manusia mandiri. Adapun kini dengan 2 lokasi panti di Denpasar dan Klungkung, jumlah anak yang dididik seluruhnya mencapai lebih dari 300 anak.
Figur Wayan Nika, 64, adalah pendirinya. Pria kelahiran Klungkung tahun 1946 meresmikan pendirian panti asuhannya di Klungkung pada 15 Oktober 1985. "Saya mulai dengan 4 anak dari kelurga yang mengalami konflik karena menantu membunuh mertuanya," ujarnya. Jumlah anak dengan cepat bertambah hingga mencapai 20 orang di tahun pertama. Mereka berasal dari keluarga miskin yang tidak mampu membiayai sekolahnya.
Suami dari Ni Nyoman Suwasti , 52, yang lahir dari keluarga pedagang berkecukupan mengaku sering terusik nuraninya melihat kemiskinan di sekitarnya. Apalagi setelah pada tahun 1976 dia bekerja sebagai fotografer turis yang dengan mudah mendapatkan uang dengan menjual foto hasil jepretannya. Hanya dengan mengikuti rombongan turis dalam 1 minggu, dia sudah bisa membeli mobil. Padahal saat itu dia sudah merangkap kerja sebagai guru dan mulai merintis sejumlah toko.
Terbersit gagasan dalam pikirannya, kemiskinan terjadi karena orang tidak memiliki peluang untuk belajar. "Karena itu mereka tidak bisa melihat dan memanfaatkan kesempatan," ujarnya. Namun untuk bisa belajar dengan baik, mereka yang lahir dari keluarga miskin harus dipenuhi dulu kebutuhan makanannya.
Ia mulai menyiapkan pendirian sebuah Panti Asuhan di atas tanah seluas 1 hektar yang dibelinya ketika masih duduk di bangku SMEA dari hasill bisnis menjual kayu nangka. Selain membangun gedung, dia juga menanam pohon kelapa dan membuat kolam ikan. Tujuannya, anak-anak panti nantinya bisa menghidupi diri sendiri dengan usaha kebun dan kolam ikan itu.
Karena kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak-anak panti, pada tahun 1987, Nika mendirikan panti di Denpasar. Ia menyewa sebidang tanah dan mendirikan bangunan sederhana sebelum akhirnya berhasil membeli tanah dan membangun gedung permanen. Hebatnya, bangunan di atas lahan seluas 23 are itu dikerjakan setahap demi setahap oleh anak asuh panti di bawah pengawasan satu tukang profesional. Baru pada tahun 1998, bangunan dengan 8 lantai bisa diselesaikan sepenuhnya.
Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, panti juga mendirikan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar Kelas Kecil. Selain itu ada kelas Paket B (setara SMP) dan Paket C (setara SMU) dengan tutor yang disediakan Dinas Pendidikan. "Kita dirikan karena biaya mengikuti sekolah di luar terlalu mahal dengan berbagai pungutan," ujarnya yang kini berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan jabatan pengawas Sekolah. Menariknya, para siswa mendapat ilmu tambahan dengan pelajaran ekstra seperti menjahit, menabuh gamelan, menari dan olahraga angkat besi.
Keunggulan lainnya adalah dalam hal penguasaan bahasa karena mereka juga dibiasakan melatih kemampuan bahasa Inggris, Mandarin, Jepang dan Korea.
Panti juga sempat memberikan pendidikan wirausaha dengan membuka usaha bakso di sejumlah tempat. Sayangnya,setelah sempat berkembang kemudian diterpa krisis akibat ledakan bom di Bali pada 2002 dan 2005.
Untuk membiayai operasional Panti, Nika awalnya mengandalkan dari bisnisnya yang berkembang pesat antara tahun 1976-1998. Dia berhasil memiliki toko, studo foto dan tempat fotocopy yang cukup untuk memenuhi kebutuhan. "Kalau ada kekurangan, saya gadaikan saja barang-barang pribadi," katanya yang meraih SatyaLencana Pembangunan dari alam Persiden Soharto pada 1995. Namun ketika Bali terimbas krisis moneter 1998 semua usahanya bangkrut sehingga sempat mengalami kesulitan keuangan.
Syukurnya, situasi itu tak berlangsung lama karena tanpa diduga banyak orang asing yang ingin membantu kesulitan warga Bali. Mereka berdatangan secara pribadi atau melalui Yayasan menyalurkan berbagai bantuan. Setiap bulan, bantuan dana bahkan mencapai puluhan juta rupiah. "Sampai ada pihak-pihak yang iri," ujarnya yang kini masih menempuh pendidikan S3 di Fakultas Sastra Universita Udayana. Padahal untuk kebutuhannya sendiri, ayah dari Ni Wayan Ekayani (22) dan Ni Made Dwiyani (21) Nika itu sudah merasa cukup dengan gaji PNS-nya.
Terjun di dunia sosial sendiri , menurut Nika, memberikan kepuasan tersendiri. "Sangat menyenangkan selama kita bisa tulus mengabdi," ujarnya. Dia mengaku selalu kebingungan menjawab pertanyaan mengenai sisi kesulitan dari usahanya. Sebab, setiap masalah sepertinya telah disediakan jalan keluarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar