Hot Issue dari berbagai televisi tentang pernyataan Bapak presiden mengenai keistimewaan Yogyakarta. Inti pernyataan tersebut adalah menyoal tentang keistimewaan DIY. Saya bukan ahli hukum tatanegara sehingga tidak bisa memberi ulasan tentang hal itu. Namun sebagai rakyat kecil saya melihat ini sebagai sesuatu yang belum (atau tidak) penting dibicarakan saat ini.
Itu adalah contoh kekhususan suatu daerah di Indonesia. Demikian pula DIY. Karena bersifat ‘istimewa’ maka ada ’sedikit’ perbedaan dengan propinsi-propinsi lainnya. Dan hal itu sudah diterima konstitusi kita sedari awal. Seharusnya tidak perlu pemerintah pusat mengotak-atik itu lagi. Serahkan saja perihal DIY kepada masyarakat lokal DIY. Kecuali kalau memang Indonesia mau mereferendum UUD-nya , kususnya pasal yang menerima keistimewaan suatu daerah berdasarkan latarbelakang sejarahnya.Masih banyak masalah ‘urgent’ lain yang harus segera diselesaikan. Century, mafia hukum, mafia pajak, peristiwa ‘nglencernya’ Gayus si manusia super ,dan seabrek masalah lainnya. Pemberantasan korupsi yang sedari awal menjadi jargon, misalnya. Atau jangan-jangan pelemparan atas isu DIY sengaja dilakukan hanya untuk pengalihan isu ‘carut-marutnya hukum’ yang sedang berkembang ?
Pak Beye ada baiknya menilik kembali ’kegatelannya’ terhadap monarkisme yang ada di DI Yogyakarta. Sebab nama DI bukan sekedar nama, punya sejarah panjang, punya proses, kenapa Yokya bergabung ke NKRI. Saya membayang Kesultanan Yogyakarta sebelum kemerdekaan 17 Agustus 1945, punya posisi seperti ’Distrik Pante Makasar’ di Timor Leste. Wilayah ini benar-benar masuk dalam wilayah NKRI. Tapi begitu mengajukan referendum kemerdekaan dan diakui dunia, wilayah ini juga ikut lepas, karena memang bagian dari Timor Leste..Apa hubungannya? Yogya secara geografis juga letaknya sama dengan ’Distrik Pante Makasar Timor Leste’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar